Perasaan bersalah segera mendera Robby. “Adakah mereka marah, dendam dan benci padaku?”, batin Robby penasaran. Namun, ah, lihatlah mata mereka. Mereka menatap Robby, ayah yang telah menelantarkan mereka selama 14 tahun, penuh kasih. Tak satupun keluar makian dari mulut mereka. Hanya satu permintaan mereka, “Papi pulang.”
Bukankah takutmu akan Allah yang menjadi sandaranmu, dan kesalehan hidupmu menjadi pengharapanmu? - (Ayub 4:6).Kesaksian Robby Sugara. Dipulihkan untuk Memulihkan. Papi pulang..
Shalom, begini kisahnya :
Ini bukanlah kisah mengenai diri saya, tapi kisah perjuangan istri dan anak-anak saya, kisah penantian yang panjang dan tak pernah menyerah. Kisah tentang pengampunan, kejahatan dan pengkhianatan, yang dibalas oleh kerinduan dan kasih yang besar.
Robby Sugara (lahir pada tahun 1951) dengan nama asli Robert Kaihena adalah seorang aktor berdarah Jawa-Ambon-Belanda.Pada tahun 1975, aktor ini terkenal karena iklan pria Brisk yang dibintanginya. Ia merupakan salah seorang aktor kawakan pada periode 1970 hingga 1980-an. Namanya dapat disejajarkan dengan Tanty Yosepha, Yenny Rachman, Yati Octavia, Doris Callebaute, dan Roy Marten. Ia menikah dengan Bertha Suwages dan memiliki tujuh anak.
Dalam perjalanan hidupnya Robby Sugara sempat menelantarkan keluarganya selama 14 tahun, sebuah keputusan yang akan menghancurkan hati banyak orang, akan tetapi dengan ketekukan istri dan anak-anaknya, maka Robby Sugara bisa megalami pertobatan dan keluarga mereka dipulihkan. Ia kembali berkat doa yang tak putus dari anak-anaknya
Pengantar
Robert Kaihena yang kemudian kita kenal dengan Robby Sugara berlimpah kasih sayang dari kedua orangtuanya, Matias Kaihena dan Inem. Kendati dibesarkan di negeri Belanda, Robby tidak mengenal kehidupan bebas. ”Mereka menjaga saya seperti anak perempuan. Saya ini kurang pergaulan, tahunya hanya rumah. Nggak pernah ke mana-mana,” kenang Robby yang hidup dalam keluarga harmonis itu.
PRIA ALIM
Saat kembali ke Jakarta, 1968, Robby adalah remaja alim yang hidupnya lurus. Setelah menyelesaikan pendidikan di STM Poncol, tahun 1970, ia bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah hotel berbintang. Kariernya dimulai dari bawah, sebagai tukang nge-lap piring. Pelan-pelan, kariernya menanjak hingga menjadi manajer restoran.Tak jauh dari hotel berbintang itu, Bertha Iriani Mariana tinggal bersama keluarganya. Gadis cantik peranakan Papua dan China itu memikat hati Robby. ”Kami kenal lewat teman. Lalu pacaran, sempat putus nyambung beberapa kali. Akhirnya tahun 1974, kami menikah,” kisahnya. Setahun menikah, lahir Ella Inggrid Maria, buah cinta mereka. Tahun itu pula, Robby mulai masuk dunia film. Berawal dari film Rahasia Perawan (1975), karier peranakan Belanda-Jawa dan Ambon di dunia hiburan melesat pesat.
MASUK DUNIA FILM
Pada tahun 1975 hingga tahun 1983 adalah masa kejayaan Robby. Para gadis menyanjungnya. Para ibu mengaguminya. Produser pun mencintainya. Hampir semua film yang dibintanginya laris manis. Sebutlah di antaranya dr. Karmila, Kabut Sutra Ungu, Anna Maria, Romantika Remaja, dan masih banyak lagi. Pria Brisk itu telah memikat insan di seluruh negeri. Bersama Roy Marten, Doris Callebout, Yati Oktavia, Yenny Rahman, ia menjadi The Big 5, ikon film nasional kala itu. Popularitas membuat hidup Robby menjadi lebih mudah. Semuanya berubah drastis. Yang dulunya hidup pas-pasan, uang di kantong hanya cukup untuk naik bis, jadi berlimpah harta. Yang sebelumnya kuper jadi gaul abis. Ia bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya. Bebas dan lepas. Mulailah, ia mencicipi pergaulan bebas yang tak pernah dirambahnya. Disko dan pesta jadi menu hariannya. Foya-foya jadi bagian kehidupan barunya.Namun, kemakmuran itu tak berumur lama. 1983, saat perfilman nasional mulai mundur, bintang Robby pun meredup.
BANGKRUT
Tahun 1984, industri perfilman Indonesia jatuh, membuat saya harus mencari cara lain untuk tetap mendapatkan penghasilan. Menghadapi kondisi krisis ini, Robby dan Etha, justru tak berjalan beriring. Pertengkaran kerap terjadi. Kondisi mereka memburuk.
Teman saya mengajak untuk berbisnis, kami kemudian membuka sebuah perusahaan, dengan harapan nama Robby Sugara sebagai Direkturnya bisa menjadi hoki dan menarik banyak transaksi bisnis. Tetapi harapan perusahaan itu akan menghasilkan keuntungan besar ternyata tidak terwujud. Waktu berjalan, perusahaan malah menyedot aset pribadi saya (Robby Sugara) untuk membayar gaji karyawan dan biaya-biaya lain dalam menjalankan perusahaan setiap bulannya.
Perusahaan yang didirikan Robby bersama sang rekan, morat-marit. Nyaris bangkrut.
Keadaan finansial saya semakin terjepit, menghidupi seorang isteri dan tujuh orang anak sungguh sulit dimana saya tidak memiliki pendapatan, justru pengeluaran sangat besar untuk keluarga dan perusahaan. Nama besar, masalah perusahaan, dan menafkahi keluarga menjadi beban yang sangat berat bagi saya, yang saya rasa sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya.
Ditengah krisis tersebut, rekan bisnis saya mengenalkan saya dengan seorang wanita. Rekan saya berharap dengan nama besar saya sebagai artis dan wajah ganteng bisa membuat wanita itu tertarik memberikan banyak bisnis besar pada kami. Ia meminta Robby mendekati seorang pengusaha perempuan yang dekat dengan penguasa, kala itu yang memiliki koneksi dan relasi bisnis luas sampai kepejabat tinggi dan keluarga Cendana. Harapannya, perempuan itu bisa menolong usaha mereka.Harapannya terkabul, wanita itu langsung tertarik pada saya. Bahkan bukan hanya sampai dibisnis saja, hubungan pribadi kami semakin hari menjadi semakin dekat, dan keluarga semakin terabaikan.
Berawal dari urusan bisnis, hubungan Robby dengan perempuan itu, sebut saja Tita, merembet ke hubungan pribadi. Robby kerap curhat masalah keluarganya pada Tita. Bagai mendapat umpan, Tita yang saat itu terpikat dengan ketampanan Robby, berusaha menjadi penolong. Akhirnya, mereka jatuh cinta. Etha tak berdaya. Ibarat perangko dengan amplopnya, mereka sudah lengket. Sulit dipisahkan.Menjalin hubungan dengan Tita, Robby bagaikan menemukan oase atas kerontang hidupnya. Meski sebenarnya, itu hanyalah oase semu. Kewajiban menghidupi isteri dan tujuh anak adalah beban berat bagi Robby. Bersama Tita, Robby melihat masa depan cerah. Tahun 1984, Robby mengambil keputusan fatal. Ia meninggalkan Etha bersama ketujuh anak mereka yang masih kecil. Si sulung Ella, berusia 11 tahun. Sementara Juan, si bungsu masih 9 bulan. ”Saya benar-benar pengecut. Saya tinggalkan keluarga, tanpa harta sepeser pun. Saya pergi menyelamatkan diri sendiri,” katanya sendu. Bersama Tita, ia menghilang dari Jakarta. Menuju ujung bumi Jawa Barat. Mereka membangun kehidupan baru di pinggir laut Selat Sunda. Benar dugaan Robby, hidupnya bersama Tita berkelimpahan. Dalam waktu singkat, bisnis yang mereka rintis berkembang cepat. ”Kami membangun tempat penginapan indah di pinggir pantai. Tempat itu sering digunakan untuk kegiatan rohani seperti retreat dan doa semalam suntuk. Itu seakan membuktikan bahwa saya di jalan yang ”benar”,” kisah pria kelahiran Malang, 20 Juli 1950 itu. Robby bagai hidup di dunia mimpi. Kekayaan begitu mudah meng-hampiri-nya. Bersama Tita, tiga bulan sekali Robby melancong ke Eropa. Robby melupakan keluarga.
Saya sudah tidak peduli lagi, hanya satu yang saya pikirkan saat itu, yaitu kebebasan dan kesenangan yang akan saya dapatkan. Bagaimana nanti anak-anak saya makan, di mana mereka akan tinggal, dan bagaimana mereka akan bersekolah?. Saya sudah tidak peduli lagi, hanya satu yang saya pikirkan saat itu, yaitu kebebasan dan kesenangan yang akan saya dapatkan.
Sepuluh tahun lebih saya tidak tahu menahu dengan keluarga saya, saya tidak tahu sama sekali mengenai anak-anak saya, apakah mereka masih hidup, apakah mereka masih makan, apakah mereka masih bersekolah, saya tidak tahu sama sekali. Dalam segala kelimpahan yang saya miliki, saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbagi dengan anak-anak saya membantu kehidupan mereka.
KELUARGA MENDERITA
Sementara Robby hidup bagai raja, keluarganya hidup di ujung jurang. Sepeninggal Robby, Etha merasa seakan langit runtuh menimpanya. Betapa tidak, tak hanya ditinggalkan suami, Etha juga dikucilkan keluarga besarnya. ”Papa saya marah besar, lalu memberi pilihan berat, Bawa ketujuh anakmu biar Robby yang urus dan kamu kembali ke keluarga. Kalau tidak, keluarga besar ga mau tahu urusan kamu dan anak,”’ kisah perempuan kelahiran 27 Mei 1953 itu.Pilihan yang amat berat. Namun, Etha memilih mempertahankan anak-anaknya. ”Bagi saya, anak-anak bukanlah hanya hasil hubungan suami isteri. Mereka adalah titipan Tuhan. Saya harus menjaga betul kepercayaan Tuhan ini,” tutur Etha tegas. Jadilah, episode pedih, kehidupan Etha bersama anak-anaknya dimulai.Etha tak mau lama-lama berkubang dalam kesedihan. Baginya, nasib tak perlu diratapi. Masalah harus segera dihadapi. Di depannya ada tujuh anak yang harus dihidupi. Ia segera bergerak. “Awalnya saya tidak tahu harus memulai dari mana. Karena saya adalah ibu rumah tangga lulusan SMA yang tak punya keahlian khusus. Tapi, saya punya punya prinsip: apa yang orang bisa pasti saya bisa,” ujar perempuan yang besar di Papua itu.Ia tanggalkan gengsi sebagai isteri mantan artis terkenal. Ia datangi teman-teman untuk menawarkan jasanya. Entah itu mengurus paspor, SIM, perpanjangan STNK, dll. Tak hanya itu, ia juga masih sempat membuat dan berjualan kue. Menjual baju dengan cara kredit pun dilakoninya. Prinsipnya, ia harus bergerak demi anak-anak. Hasil yang ia dapatkan sehari harus bisa mencukupi kebutuhan selama tiga hari.
ANAK-ANAK STRES
Pagi-pagi, pukul 06.00 ia sudah keluar rumah. Baru pulang menjelang maghrib. Anak-anak di rumah diasuh oleh pembantu yang ikut mereka tanpa dibayar. Berkat kegigihannya, anak-anak tidak pernah kekurangan makan. Namun, mereka punya tunggakan uang sekolah dan tagihan listrik selama beberapa tahun.Tak hanya masalah ekonomi, Etha pun dihadapkan pada masalah psikologis anak-anaknya. Kepergian sang ayah, menorehkan luka mendalam pada hati mereka. Etha sering dipanggil ke sekolah lantaran anak-anak sering memperlihatkan perilaku ganjil. Suatu saat, Etha diminta datang ke sekolah Cilla, anak ketiganya saat istirahat pagi. Waktu itu, usia Cilla masih 9 tahun. Di saat teman-temannya berlarian dan tertawa riang, Etha mendapati Cilla tengah bengong. Pandangannya kosong. Sementara, Ella, si sulung sering kejang jika kangen dengan ayahnya. “Anak saya yang pertama hingga keempat yang saat itu berusia 7 tahun sudah terkena imbas dari kehancuran rumah tangga kami,” tutur Etha pedih.
Melihat anak-anak menderita, etha pun mengambil keputusan. di hadapan mereka, etha berjanji, “tidak ada bapak kedua di rumah ini. kecuali Bapak robby yang kita tunggu pulang.” rupanya, kata-kata itu menguatkan anak-anak. Mereka masih punya harapan, suatu saat akan bertemu dengan sang papa.
ANAK-ANAK CINTA TUHAN YESUS
Sebagai manusia biasa, Etha sadar. Ia tak mungkin mampu mengatasi problem psikologis yang dihadapi anak-anaknya seorang diri. Apalagi Etha melihat kenyataan di sekelilingnya. Anak-anak dari keluarga broken home kehidupannya juga hancur kecanduan narkoba dan seks bebas. Ia tak mau anak-anaknya akan mengalami hal yang sama. Maka, ia membawa anak-anak dekat dengan Tuhan. Jadilah ketujuh anak Etha, akrab dengan kehidupan gereja sejak mereka kecil. “Saya tidak mau anak saya lepas dari tangan Tuhan. Ngeri rasanya,” katanya begidik. Keputusan itu memang tepat. Anak-anaknya bertumbuh dalam rohani. Suatu kali, si sulung meminjam satu kamar di rumah mereka. Awalnya, Etha tak tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana. Hingga suatu hari, ia mencoba mengintip dari jendela. Ia melihat tiga anaknya sedang memasang lilin di lantai. Setelah itu mereka bergabung dengan empat saudaranya yang lain, duduk bersila di lantai. Diterangi oleh sinar lilin (karena nunggak bayar selama dua tahun, listrik dicabut), mereka bergandengan tangan dan melantunkan pujian dan penyembahan pada Tuhan. Ketujuh anak itu bersatu hati, berdoa pada Tuhan. Sebelum mereka meminta sesuatu pada Tuhan, mereka berdoa, “Tuhan kami mengampuni papa kami, karena dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Tuhan kami juga mengampuni perempuan yang mengambil papa kami. Beri suami lain supaya papa kami bisa pulang.” Tubuh Etha bergetar. Ada rasa haru bercampur syukur dan bahagia. Ia bangga melihat anak-anaknya tumbuh dalam Tuhan.
SEMPAT TERGODA
Kendati sudah bekerja keras membanting tulang, kondisi ekonomi keluarga mereka tak kunjung membaik. Kebutuhan makin meningkat,sementara uang makin susah didapat. Etha mulai putar otak. Ia ingin mendapatkan uang dengan cara mudah. Mungkinkah? Ah, ia melihat dirinya di cermin. Di sana ada sosok perempuan muda yang punya daya tarik kuat. Kendati dari rahimnya sudah lahir tujuh anak, perempuan itu tetap cantik dan menarik. “Jika lu butuh uang, telpon gue. Gue akan carikan lu kerjaan,” terngiang kembali ucapan sang teman beberapa waktu lalu. Etha tahu persis pekerjaan yang dimaksud sang teman. Rasanya, tak sudi ia menjalaninya. Tapi, ia harus berhadapan dengan kenyataan. Ia butuh uang untuk menghidupi anak-anaknya. Etha melangkah ke telepon umum. Tangannya memutar sejumlah nomor. “Aku butuh pekerjaan, tolong carikan aku bos ya,” katanya gemetar. Etha sadar, ia tengah menjerumuskan dirinya sendiri. Namun, tak ada pilihan lain. Malam itu, Etha gelisah. Batinnya berperang. Sebagian melarang ia melakukan itu. “Kau ini tak punya harga diri!”. Sebagian lain, mendukungnya. “Ayolah, ini kesempatan bagus. Anak-anakmu butuh uang.” Pagi datang. Saat hendak bangun, ia mendapati kasur penuh dengan darah. Etha mengalami pendarahan hebat. Suatu hal langka yang tak pernah dialami sebelumnya. “Kalau pun saya menstruasi biasa gak gitu-gitu amat,” kenangnya. Ia lalu menelpon temannya, menceritakan kejadian itu. “Ah, lu stres aja kali,” begitu komentar sang teman. Maka, janji hari itu pun batal. Sebulan kemudian Etha kembali meminta pekerjaan pada sang teman. Namun, kejadian itu terulang kembali. Lagi-lagi Etha mengalami pendarahan. Bagi Etha, kejadian itu adalah sebuah teguran keras dari Tuhan. “Sejak itu, saya tidak berani melakukan itu. Jangankan melakukan. Bicara saja, saya udah takut,” ungkapnya. Jadilah, Etha kembali mencari uang dengan cara yang diperkenankan Tuhan.
DOA TAK KUNJUNG PUTUS
Hari berlalu. Ketujuh anak Robby tumbuh menjadi gadis dan perjaka. Mereka mewarisi keelokan fisik dari orang tuanya. Kerinduan pada sang ayah, tak kunjung pudar. Mereka masih setia, setiap hari berdoa pada Tuhan, mengharap sang papa kembali. Setahun, dua tahun, doa mereka seakan tak terjawab. Pada tahun kelima, salah seorang anaknya berkata, “Aduh Ma, ampun deh udah lima tahun gak balik juga.” Mereka mulai bosan. Tak kunjung mendapat jawaban dari Tuhan. Pada tahun kesembilan, enam dari tujuh anaknya “menyerah”. Mereka memperbolehkan Etha menikah lagi. Namun, Cilla, anak ketiganya melarang. “Jangan Ma. Mama tidak boleh menikah lagi. Jika mama kawin, papa gak bisa balik lagi. Masih ada aku yang duduk di kaki Tuhan. Tuhan pasti jawab doaku. Mama sabar ya,” ujar Cilla menguatkan sang mama.
PERTEMUAN MENGHARUKAN
Pada tahun kesepuluh, 1994, Ella si sulung berhasil menemukan “tempat perlarian” sang ayah. Ia lalu mengajak keenam adiknya ke ujung barat Pulau Jawa untuk bertemu Robby. Robby berdiri mematung. Di depannya ada tujuh anaknya yang kini tumbuh menjadi remaja. Cantik dan ganteng. Si sulung Ella (21) dan si bontot, Juan (11). Perasaan bersalah segera mendera Robby. “Adakah mereka marah, dendam dan benci padaku?”batin Robby penasaran. Namun, ah, lihatlah mata mereka. Mereka menatap Robby, ayah yang telah menelantarkan mereka selama 10 tahun, penuh kasih. Tak satupun keluar makian dari mulut mereka. Hanya satu permintaan mereka, “Papi pulang.” Pertemuan singkat itu menorehkan kerinduan mendalam pada hati Robby. Ia ingin kembali. Kerinduan yang mendalam itu akhirnya menjadi doanya. Ia sering menghabiskan malam di pinggir laut. Pikirannya selalu melayang ke keluarganya.
“Kemudian dalam satu kesempatan saya bertemu mereka semua, anak-anak saya sudah besar-besar sehingga saya hampir tidak lagi mengenali mereka. Hati saya seperti teriris-iris saat mengetahui mereka dengan susah payah berhasil bertahan sepeninggalan saya.”
Tapi setelah pertemuan itu, saat-saat kami bertemu terus mengganggu saya. Begitu indah dan tidak dapat terganti apa pun. Begitu berlimpahnya hidup saya, namun tidak dapat menggantikan momen-momen yang indah bersama dengan mereka. Kerinduan saya untuk dapat terus bersama dengan mereka semakin lama semakin besar, hingga membuat saya tidak berdaya, hanya mampu berdoa, "Tuhan, persatukan saya kembali dengan mereka." Dalam pertemuan berikutnya, dalam haru saya berkata pada mereka, "Papa janji akan pulang...." Sebuah janji yang saya tidak tahu bagaimana saya mewujudkannya. Ternyata janji itu menyalakan kembali harapan mereka yang hampir padam, anak-anak terus dengan gencar mendoakan kepulangan saya. Setiap tahun mereka membeli hadiah khusus untuk saya, pada hari ulang tahun putri saya yang sulung, karena mereka pikir saya akan memberi kejutan pulang pada hari ulang tahun mereka. Tapi apa yang terjadi, saya tidak pulang. Mereka tidak putus harapan, berdoa lagi, lalu membeli kado lagi khusus buat saya, siap menghadapi kejutan kepulangan saya. Hal itu terjadi setiap tahun, tahun demi tahun, mereka menanti, dan selalu saya kecewakan.
KEMBALI KE KELUARGA
Gelagat ini tercium oleh pasangan selingkuhannya. Ia tak rela Robby kembali ke keluarga. Maka, ia pun berusaha meneror Robby. “Saya mendengar ancaman, dia akan membuat saya cacat supaya tidak dapat kembali ke dunia film. Kalau sampai saya tinggalin dia maka saya akan diadukan ke polisi, dsb. Namun, semua itu sebenarnya malah meringankan langkah saya untuk segera meninggalkan dia,” kisah Robby pada Bahana di suatu pagi di Yogyakarta. Kerinduan Robby sudah tak tertahankan. Tahun ke-14, Januari 1998, ia menelpon Etha, berjanji akan kembali ke keluarga. Pada hari yang dijanjikan, ketujuh anaknya berkumpul di ruang tamu. Sambil menunggu Robby, mereka terus melantunkan pujian dan penyembahan pada Tuhan. Tepat jam 2 pagi, terdengar ketukan di pintu. Robby akhirnya pulang.
“Peristiwa yang dinanti-nantikan mereka pun terjadi, saya dipulangkan oleh wanita itu, bahkan diantar sampai ke depan rumah saya pada tengah malam. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Peristiwa pemulangan saya itu menunjukkan bukan kuat gagah saya melepaskan diri dari jerat itu, tapi itu semata-mata karya Tuhan yang ajaib. Bukan saya yang berusaha dan pulang sendiri meninggalkan semua kenikmatan duniawi itu, melainkan mukjizat Tuhan yang memulangkan saya.”
Peristiwa itu disambut sukacita luar biasa oleh anak-anak saya, penuh haru dan kerinduan. Walaupun istri saya tidak merespons kepulangan saya, saya memakluminya. Selama 14 tahun kami terpisah, dan setelah semua kejahatan yang saya lakukan padanya, ia butuh waktu untuk menerima saya lagi. Saya tahu bahwa Tuhanlah yang menguasai hati keluarga saya, untuk mau menerima orang yang telah sekian lama menyakiti hati mereka, tidaklah mungkin jikalau bukan karena campur tangan Tuhan. Mereka diberikan-Nya kebesaran hati dan kasih untuk dapat menerima saya lagi. Kalau bukan karena campur tangan Tuhan, itu tidak mungkin.
Sama seperti saat meninggalkan keluarganya, Robby pun kembali ke keluarga dalam kondisi nol. Hanya ada uang Rp 60 ribu di dompetnya, dua celana jeans dan beberapa t-shirt. Semua kemewahan yang direguknya ditinggalkan begitu saja. Robby Sugara, ‘si Big Five itu’ jadi pengangguran.
KELUARGA DIPULIHKAN
Untuk bertahan hidup, Robby sempat menjadi supir dan membantu Roy Marten mengurus cafe. Pada April 1998, Tuhan memberinya kesempatan untuk kembali ke sinetron
“Setelah kembalinya saya ke rumah, semuanya tidak selesai begitu saja. Saya menghadapi sebuah pergumulan baru. Saya harus mengambil lagi beban yang saya tinggalkan, yaitu menghidupi keluarga saya. Saya tidak punya apa-apa sama sekali saat pulang pada mereka. Hanya membawa satu kantong plastik kecil berisi baju kotor. Saya memutar otak, bagaimana mendapatkan penghasilan. Kemudian saya mulai menghubungi teman-teman lama saya dalam dunia film, berharap nama besar Robby Sugara pada masa lalu masih bisa dijual saat ini. Saya menanti-nanti, tidak juga ada jawaban. Sampai akhirnya Tuhan tegur saya, agar saya tidak mengandalkan kekuatan saya, melainkan mengikuti jejak anak-anak saya yang hanya mengharapkan Tuhan untuk memulangkan saya. Saya menyadarinya, dan meminta ampun kalau saya masih mengandalkan nama besar. Dan menyerahkan sepenuhnya, segala sesuatunya ke dalam tangan Tuhan.”
“Tidak lama kemudian, jawaban Tuhan datang, saya mendapat peran dalam sebuah sinetron yang masih terkenal sampai saat ini, yaitu "Tersanjung". Setelah sinetron itu berkat Tuhan mengalir, hingga saya boleh diizinkan menyelesaikan puluhan judul sinetron. Saya sungguh rindu untuk melayani Tuhan, namun pelayanan saya sering kali terhambat dengan jadwal syuting yang sering berubah-ubah. Bila saya sudah dijadwalkan untuk bersaksi pada sebuah tempat, mendadak jadwal syuting juga berubah dan bentrok dengan jadwal melayani. Dengan sangat terpaksa saya harus mengikuti syuting karena sudah terikat kontrak. Hal ini membuat saya takut untuk menerima pelayanan kesaksian, takut saya mengecewakan jemaat yang mengundang, karena saya tidak bisa datang, bentrok dengan jadwal syuting yang berubah.”
“Saya berdoa pada Tuhan akan kerinduan besar saya untuk melayani Dia, dan keadaan pekerjaan saya saat itu. Pada sebuah sinetron yang saya perankan berjudul "Cintailah Aku", saya melihat judul dari sinetron itu memakai huruf besar untuk tulisan AKU. Saya percaya, ini adalah sebuah tanda dari Tuhan, agar saya melayani Dia sepenuhnya. Agar saya betul-betul mencintai hanya Dia seorang, meninggalkan segala sesuatunya, dan menyerahkan seluruh pemeliharaan hidup saya dalam tangan-Nya. Maka saya memutuskan untuk meninggalkan dunia keartisan, dan terjun sepenuhnya kepelayanan. Sungguh sebuah sukacita dapat melayani Tuhan Yesus yang telah memulihkan hidup dan keluarga saya. Orang bertanya, lalu dari mana saya memenuhi kebutuhan materi keluarga. Saya hanya tersenyum, Tuhan Yesus pasti mencukupi segala sesuatunya. Saya sudah melihat dan merasakan kebaikan-Nya, Ia selalu mencukupkan apa yang saya butuhkan, terpujilah nama-Nya.”
Sumber :
[1] http://kesaksian-kriste.blogspot.com/2008/11/kesaksian-robby-sugara.html
[2] source : http://www.bahana-magazine.com
[3] http://gbisokid.wordpress.com/2009/11/12/ibadah-raya-minggu-pagi-0800-wib-bersama-bp-robby-sugara/
[4] http://danielroom.blogspot.com/2007/06/kesaksian-robby-sugara.html
[5] http://ajaran-kristen.blogspot.com/2013/01/kesaksian-robby-sugara-dipulihkan-untuk.html
Di dalam keterbatasan itulah, justru keluarga Robby dipulihkan. Cinta kasih antara Robby dan Etha yang terkubur selama 14 tahun, Tuhan pulihkan. Kini, mereka bahkan seperti pengantin baru lagi. Belajar dari ketaatan anak-anaknya, Robby kini menjadi pelayan Tuhan. Tahun 2005, ia tinggalkan dunia sinetron dan melayani Tuhan sepenuh waktu. Robby-Etha, pelayanan keliling Indonesia, bahkan luar negeri untuk menyaksikan kasih Tuhan dalam kehidupan mereka. Itulah kedahsyatan kasih Tuhan. Ia bisa mengubah sebuah kehancuran menjadi kemuliaan.
Mari kita nikmati pelayanan Firman dan kesaksian Robby Sugara mengenai betapa hebat dan dahsyatnya ALLAH kita, yang mampu merubah seseorang Robby Sugara “pria yang tidak setia dan meninggalkan istri serta tujuh anaknya selama 14 tahun”, dan berubah menjadi anak Nya yang saat ini dipakai untuk menyaksikan kemuliaanNya.
---- Demikian Tuhan berkuasa untuk mengubah kehidupan Robby ...s
Seorang suami harus mengasihi istrinya, demikian juga seorang istri diharapkan menghormati kepada suami. Tetap saling mengasihi sesama manusia. Tetap semangat dan Tuhan Yesus pasti memberkati. Ya dan Amen.
Ini bukanlah kisah mengenai diri saya, tapi kisah perjuangan istri dan anak-anak saya, kisah penantian yang panjang dan tak pernah menyerah. Kisah tentang pengampunan, kejahatan dan pengkhianatan, yang dibalas oleh kerinduan dan kasih yang besar.
Robby Sugara (lahir pada tahun 1951) dengan nama asli Robert Kaihena adalah seorang aktor berdarah Jawa-Ambon-Belanda.Pada tahun 1975, aktor ini terkenal karena iklan pria Brisk yang dibintanginya. Ia merupakan salah seorang aktor kawakan pada periode 1970 hingga 1980-an. Namanya dapat disejajarkan dengan Tanty Yosepha, Yenny Rachman, Yati Octavia, Doris Callebaute, dan Roy Marten. Ia menikah dengan Bertha Suwages dan memiliki tujuh anak.
Dalam perjalanan hidupnya Robby Sugara sempat menelantarkan keluarganya selama 14 tahun, sebuah keputusan yang akan menghancurkan hati banyak orang, akan tetapi dengan ketekukan istri dan anak-anaknya, maka Robby Sugara bisa megalami pertobatan dan keluarga mereka dipulihkan. Ia kembali berkat doa yang tak putus dari anak-anaknya
Pengantar
Robert Kaihena yang kemudian kita kenal dengan Robby Sugara berlimpah kasih sayang dari kedua orangtuanya, Matias Kaihena dan Inem. Kendati dibesarkan di negeri Belanda, Robby tidak mengenal kehidupan bebas. ”Mereka menjaga saya seperti anak perempuan. Saya ini kurang pergaulan, tahunya hanya rumah. Nggak pernah ke mana-mana,” kenang Robby yang hidup dalam keluarga harmonis itu.
PRIA ALIM
Saat kembali ke Jakarta, 1968, Robby adalah remaja alim yang hidupnya lurus. Setelah menyelesaikan pendidikan di STM Poncol, tahun 1970, ia bekerja sebagai pelayan restoran di sebuah hotel berbintang. Kariernya dimulai dari bawah, sebagai tukang nge-lap piring. Pelan-pelan, kariernya menanjak hingga menjadi manajer restoran.Tak jauh dari hotel berbintang itu, Bertha Iriani Mariana tinggal bersama keluarganya. Gadis cantik peranakan Papua dan China itu memikat hati Robby. ”Kami kenal lewat teman. Lalu pacaran, sempat putus nyambung beberapa kali. Akhirnya tahun 1974, kami menikah,” kisahnya. Setahun menikah, lahir Ella Inggrid Maria, buah cinta mereka. Tahun itu pula, Robby mulai masuk dunia film. Berawal dari film Rahasia Perawan (1975), karier peranakan Belanda-Jawa dan Ambon di dunia hiburan melesat pesat.
MASUK DUNIA FILM
Pada tahun 1975 hingga tahun 1983 adalah masa kejayaan Robby. Para gadis menyanjungnya. Para ibu mengaguminya. Produser pun mencintainya. Hampir semua film yang dibintanginya laris manis. Sebutlah di antaranya dr. Karmila, Kabut Sutra Ungu, Anna Maria, Romantika Remaja, dan masih banyak lagi. Pria Brisk itu telah memikat insan di seluruh negeri. Bersama Roy Marten, Doris Callebout, Yati Oktavia, Yenny Rahman, ia menjadi The Big 5, ikon film nasional kala itu. Popularitas membuat hidup Robby menjadi lebih mudah. Semuanya berubah drastis. Yang dulunya hidup pas-pasan, uang di kantong hanya cukup untuk naik bis, jadi berlimpah harta. Yang sebelumnya kuper jadi gaul abis. Ia bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya. Bebas dan lepas. Mulailah, ia mencicipi pergaulan bebas yang tak pernah dirambahnya. Disko dan pesta jadi menu hariannya. Foya-foya jadi bagian kehidupan barunya.Namun, kemakmuran itu tak berumur lama. 1983, saat perfilman nasional mulai mundur, bintang Robby pun meredup.
BANGKRUT
Tahun 1984, industri perfilman Indonesia jatuh, membuat saya harus mencari cara lain untuk tetap mendapatkan penghasilan. Menghadapi kondisi krisis ini, Robby dan Etha, justru tak berjalan beriring. Pertengkaran kerap terjadi. Kondisi mereka memburuk.
Teman saya mengajak untuk berbisnis, kami kemudian membuka sebuah perusahaan, dengan harapan nama Robby Sugara sebagai Direkturnya bisa menjadi hoki dan menarik banyak transaksi bisnis. Tetapi harapan perusahaan itu akan menghasilkan keuntungan besar ternyata tidak terwujud. Waktu berjalan, perusahaan malah menyedot aset pribadi saya (Robby Sugara) untuk membayar gaji karyawan dan biaya-biaya lain dalam menjalankan perusahaan setiap bulannya.
Perusahaan yang didirikan Robby bersama sang rekan, morat-marit. Nyaris bangkrut.
Keadaan finansial saya semakin terjepit, menghidupi seorang isteri dan tujuh orang anak sungguh sulit dimana saya tidak memiliki pendapatan, justru pengeluaran sangat besar untuk keluarga dan perusahaan. Nama besar, masalah perusahaan, dan menafkahi keluarga menjadi beban yang sangat berat bagi saya, yang saya rasa sudah tidak sanggup lagi untuk menanggungnya.
Ditengah krisis tersebut, rekan bisnis saya mengenalkan saya dengan seorang wanita. Rekan saya berharap dengan nama besar saya sebagai artis dan wajah ganteng bisa membuat wanita itu tertarik memberikan banyak bisnis besar pada kami. Ia meminta Robby mendekati seorang pengusaha perempuan yang dekat dengan penguasa, kala itu yang memiliki koneksi dan relasi bisnis luas sampai kepejabat tinggi dan keluarga Cendana. Harapannya, perempuan itu bisa menolong usaha mereka.Harapannya terkabul, wanita itu langsung tertarik pada saya. Bahkan bukan hanya sampai dibisnis saja, hubungan pribadi kami semakin hari menjadi semakin dekat, dan keluarga semakin terabaikan.
Berawal dari urusan bisnis, hubungan Robby dengan perempuan itu, sebut saja Tita, merembet ke hubungan pribadi. Robby kerap curhat masalah keluarganya pada Tita. Bagai mendapat umpan, Tita yang saat itu terpikat dengan ketampanan Robby, berusaha menjadi penolong. Akhirnya, mereka jatuh cinta. Etha tak berdaya. Ibarat perangko dengan amplopnya, mereka sudah lengket. Sulit dipisahkan.Menjalin hubungan dengan Tita, Robby bagaikan menemukan oase atas kerontang hidupnya. Meski sebenarnya, itu hanyalah oase semu. Kewajiban menghidupi isteri dan tujuh anak adalah beban berat bagi Robby. Bersama Tita, Robby melihat masa depan cerah. Tahun 1984, Robby mengambil keputusan fatal. Ia meninggalkan Etha bersama ketujuh anak mereka yang masih kecil. Si sulung Ella, berusia 11 tahun. Sementara Juan, si bungsu masih 9 bulan. ”Saya benar-benar pengecut. Saya tinggalkan keluarga, tanpa harta sepeser pun. Saya pergi menyelamatkan diri sendiri,” katanya sendu. Bersama Tita, ia menghilang dari Jakarta. Menuju ujung bumi Jawa Barat. Mereka membangun kehidupan baru di pinggir laut Selat Sunda. Benar dugaan Robby, hidupnya bersama Tita berkelimpahan. Dalam waktu singkat, bisnis yang mereka rintis berkembang cepat. ”Kami membangun tempat penginapan indah di pinggir pantai. Tempat itu sering digunakan untuk kegiatan rohani seperti retreat dan doa semalam suntuk. Itu seakan membuktikan bahwa saya di jalan yang ”benar”,” kisah pria kelahiran Malang, 20 Juli 1950 itu. Robby bagai hidup di dunia mimpi. Kekayaan begitu mudah meng-hampiri-nya. Bersama Tita, tiga bulan sekali Robby melancong ke Eropa. Robby melupakan keluarga.
Saya sudah tidak peduli lagi, hanya satu yang saya pikirkan saat itu, yaitu kebebasan dan kesenangan yang akan saya dapatkan. Bagaimana nanti anak-anak saya makan, di mana mereka akan tinggal, dan bagaimana mereka akan bersekolah?. Saya sudah tidak peduli lagi, hanya satu yang saya pikirkan saat itu, yaitu kebebasan dan kesenangan yang akan saya dapatkan.
Sepuluh tahun lebih saya tidak tahu menahu dengan keluarga saya, saya tidak tahu sama sekali mengenai anak-anak saya, apakah mereka masih hidup, apakah mereka masih makan, apakah mereka masih bersekolah, saya tidak tahu sama sekali. Dalam segala kelimpahan yang saya miliki, saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbagi dengan anak-anak saya membantu kehidupan mereka.
KELUARGA MENDERITA
Sementara Robby hidup bagai raja, keluarganya hidup di ujung jurang. Sepeninggal Robby, Etha merasa seakan langit runtuh menimpanya. Betapa tidak, tak hanya ditinggalkan suami, Etha juga dikucilkan keluarga besarnya. ”Papa saya marah besar, lalu memberi pilihan berat, Bawa ketujuh anakmu biar Robby yang urus dan kamu kembali ke keluarga. Kalau tidak, keluarga besar ga mau tahu urusan kamu dan anak,”’ kisah perempuan kelahiran 27 Mei 1953 itu.Pilihan yang amat berat. Namun, Etha memilih mempertahankan anak-anaknya. ”Bagi saya, anak-anak bukanlah hanya hasil hubungan suami isteri. Mereka adalah titipan Tuhan. Saya harus menjaga betul kepercayaan Tuhan ini,” tutur Etha tegas. Jadilah, episode pedih, kehidupan Etha bersama anak-anaknya dimulai.Etha tak mau lama-lama berkubang dalam kesedihan. Baginya, nasib tak perlu diratapi. Masalah harus segera dihadapi. Di depannya ada tujuh anak yang harus dihidupi. Ia segera bergerak. “Awalnya saya tidak tahu harus memulai dari mana. Karena saya adalah ibu rumah tangga lulusan SMA yang tak punya keahlian khusus. Tapi, saya punya punya prinsip: apa yang orang bisa pasti saya bisa,” ujar perempuan yang besar di Papua itu.Ia tanggalkan gengsi sebagai isteri mantan artis terkenal. Ia datangi teman-teman untuk menawarkan jasanya. Entah itu mengurus paspor, SIM, perpanjangan STNK, dll. Tak hanya itu, ia juga masih sempat membuat dan berjualan kue. Menjual baju dengan cara kredit pun dilakoninya. Prinsipnya, ia harus bergerak demi anak-anak. Hasil yang ia dapatkan sehari harus bisa mencukupi kebutuhan selama tiga hari.
ANAK-ANAK STRES
Pagi-pagi, pukul 06.00 ia sudah keluar rumah. Baru pulang menjelang maghrib. Anak-anak di rumah diasuh oleh pembantu yang ikut mereka tanpa dibayar. Berkat kegigihannya, anak-anak tidak pernah kekurangan makan. Namun, mereka punya tunggakan uang sekolah dan tagihan listrik selama beberapa tahun.Tak hanya masalah ekonomi, Etha pun dihadapkan pada masalah psikologis anak-anaknya. Kepergian sang ayah, menorehkan luka mendalam pada hati mereka. Etha sering dipanggil ke sekolah lantaran anak-anak sering memperlihatkan perilaku ganjil. Suatu saat, Etha diminta datang ke sekolah Cilla, anak ketiganya saat istirahat pagi. Waktu itu, usia Cilla masih 9 tahun. Di saat teman-temannya berlarian dan tertawa riang, Etha mendapati Cilla tengah bengong. Pandangannya kosong. Sementara, Ella, si sulung sering kejang jika kangen dengan ayahnya. “Anak saya yang pertama hingga keempat yang saat itu berusia 7 tahun sudah terkena imbas dari kehancuran rumah tangga kami,” tutur Etha pedih.
Melihat anak-anak menderita, etha pun mengambil keputusan. di hadapan mereka, etha berjanji, “tidak ada bapak kedua di rumah ini. kecuali Bapak robby yang kita tunggu pulang.” rupanya, kata-kata itu menguatkan anak-anak. Mereka masih punya harapan, suatu saat akan bertemu dengan sang papa.
ANAK-ANAK CINTA TUHAN YESUS
Sebagai manusia biasa, Etha sadar. Ia tak mungkin mampu mengatasi problem psikologis yang dihadapi anak-anaknya seorang diri. Apalagi Etha melihat kenyataan di sekelilingnya. Anak-anak dari keluarga broken home kehidupannya juga hancur kecanduan narkoba dan seks bebas. Ia tak mau anak-anaknya akan mengalami hal yang sama. Maka, ia membawa anak-anak dekat dengan Tuhan. Jadilah ketujuh anak Etha, akrab dengan kehidupan gereja sejak mereka kecil. “Saya tidak mau anak saya lepas dari tangan Tuhan. Ngeri rasanya,” katanya begidik. Keputusan itu memang tepat. Anak-anaknya bertumbuh dalam rohani. Suatu kali, si sulung meminjam satu kamar di rumah mereka. Awalnya, Etha tak tahu apa yang mereka lakukan di dalam sana. Hingga suatu hari, ia mencoba mengintip dari jendela. Ia melihat tiga anaknya sedang memasang lilin di lantai. Setelah itu mereka bergabung dengan empat saudaranya yang lain, duduk bersila di lantai. Diterangi oleh sinar lilin (karena nunggak bayar selama dua tahun, listrik dicabut), mereka bergandengan tangan dan melantunkan pujian dan penyembahan pada Tuhan. Ketujuh anak itu bersatu hati, berdoa pada Tuhan. Sebelum mereka meminta sesuatu pada Tuhan, mereka berdoa, “Tuhan kami mengampuni papa kami, karena dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Tuhan kami juga mengampuni perempuan yang mengambil papa kami. Beri suami lain supaya papa kami bisa pulang.” Tubuh Etha bergetar. Ada rasa haru bercampur syukur dan bahagia. Ia bangga melihat anak-anaknya tumbuh dalam Tuhan.
SEMPAT TERGODA
Kendati sudah bekerja keras membanting tulang, kondisi ekonomi keluarga mereka tak kunjung membaik. Kebutuhan makin meningkat,sementara uang makin susah didapat. Etha mulai putar otak. Ia ingin mendapatkan uang dengan cara mudah. Mungkinkah? Ah, ia melihat dirinya di cermin. Di sana ada sosok perempuan muda yang punya daya tarik kuat. Kendati dari rahimnya sudah lahir tujuh anak, perempuan itu tetap cantik dan menarik. “Jika lu butuh uang, telpon gue. Gue akan carikan lu kerjaan,” terngiang kembali ucapan sang teman beberapa waktu lalu. Etha tahu persis pekerjaan yang dimaksud sang teman. Rasanya, tak sudi ia menjalaninya. Tapi, ia harus berhadapan dengan kenyataan. Ia butuh uang untuk menghidupi anak-anaknya. Etha melangkah ke telepon umum. Tangannya memutar sejumlah nomor. “Aku butuh pekerjaan, tolong carikan aku bos ya,” katanya gemetar. Etha sadar, ia tengah menjerumuskan dirinya sendiri. Namun, tak ada pilihan lain. Malam itu, Etha gelisah. Batinnya berperang. Sebagian melarang ia melakukan itu. “Kau ini tak punya harga diri!”. Sebagian lain, mendukungnya. “Ayolah, ini kesempatan bagus. Anak-anakmu butuh uang.” Pagi datang. Saat hendak bangun, ia mendapati kasur penuh dengan darah. Etha mengalami pendarahan hebat. Suatu hal langka yang tak pernah dialami sebelumnya. “Kalau pun saya menstruasi biasa gak gitu-gitu amat,” kenangnya. Ia lalu menelpon temannya, menceritakan kejadian itu. “Ah, lu stres aja kali,” begitu komentar sang teman. Maka, janji hari itu pun batal. Sebulan kemudian Etha kembali meminta pekerjaan pada sang teman. Namun, kejadian itu terulang kembali. Lagi-lagi Etha mengalami pendarahan. Bagi Etha, kejadian itu adalah sebuah teguran keras dari Tuhan. “Sejak itu, saya tidak berani melakukan itu. Jangankan melakukan. Bicara saja, saya udah takut,” ungkapnya. Jadilah, Etha kembali mencari uang dengan cara yang diperkenankan Tuhan.
DOA TAK KUNJUNG PUTUS
Hari berlalu. Ketujuh anak Robby tumbuh menjadi gadis dan perjaka. Mereka mewarisi keelokan fisik dari orang tuanya. Kerinduan pada sang ayah, tak kunjung pudar. Mereka masih setia, setiap hari berdoa pada Tuhan, mengharap sang papa kembali. Setahun, dua tahun, doa mereka seakan tak terjawab. Pada tahun kelima, salah seorang anaknya berkata, “Aduh Ma, ampun deh udah lima tahun gak balik juga.” Mereka mulai bosan. Tak kunjung mendapat jawaban dari Tuhan. Pada tahun kesembilan, enam dari tujuh anaknya “menyerah”. Mereka memperbolehkan Etha menikah lagi. Namun, Cilla, anak ketiganya melarang. “Jangan Ma. Mama tidak boleh menikah lagi. Jika mama kawin, papa gak bisa balik lagi. Masih ada aku yang duduk di kaki Tuhan. Tuhan pasti jawab doaku. Mama sabar ya,” ujar Cilla menguatkan sang mama.
PERTEMUAN MENGHARUKAN
Pada tahun kesepuluh, 1994, Ella si sulung berhasil menemukan “tempat perlarian” sang ayah. Ia lalu mengajak keenam adiknya ke ujung barat Pulau Jawa untuk bertemu Robby. Robby berdiri mematung. Di depannya ada tujuh anaknya yang kini tumbuh menjadi remaja. Cantik dan ganteng. Si sulung Ella (21) dan si bontot, Juan (11). Perasaan bersalah segera mendera Robby. “Adakah mereka marah, dendam dan benci padaku?”batin Robby penasaran. Namun, ah, lihatlah mata mereka. Mereka menatap Robby, ayah yang telah menelantarkan mereka selama 10 tahun, penuh kasih. Tak satupun keluar makian dari mulut mereka. Hanya satu permintaan mereka, “Papi pulang.” Pertemuan singkat itu menorehkan kerinduan mendalam pada hati Robby. Ia ingin kembali. Kerinduan yang mendalam itu akhirnya menjadi doanya. Ia sering menghabiskan malam di pinggir laut. Pikirannya selalu melayang ke keluarganya.
“Kemudian dalam satu kesempatan saya bertemu mereka semua, anak-anak saya sudah besar-besar sehingga saya hampir tidak lagi mengenali mereka. Hati saya seperti teriris-iris saat mengetahui mereka dengan susah payah berhasil bertahan sepeninggalan saya.”
Tapi setelah pertemuan itu, saat-saat kami bertemu terus mengganggu saya. Begitu indah dan tidak dapat terganti apa pun. Begitu berlimpahnya hidup saya, namun tidak dapat menggantikan momen-momen yang indah bersama dengan mereka. Kerinduan saya untuk dapat terus bersama dengan mereka semakin lama semakin besar, hingga membuat saya tidak berdaya, hanya mampu berdoa, "Tuhan, persatukan saya kembali dengan mereka." Dalam pertemuan berikutnya, dalam haru saya berkata pada mereka, "Papa janji akan pulang...." Sebuah janji yang saya tidak tahu bagaimana saya mewujudkannya. Ternyata janji itu menyalakan kembali harapan mereka yang hampir padam, anak-anak terus dengan gencar mendoakan kepulangan saya. Setiap tahun mereka membeli hadiah khusus untuk saya, pada hari ulang tahun putri saya yang sulung, karena mereka pikir saya akan memberi kejutan pulang pada hari ulang tahun mereka. Tapi apa yang terjadi, saya tidak pulang. Mereka tidak putus harapan, berdoa lagi, lalu membeli kado lagi khusus buat saya, siap menghadapi kejutan kepulangan saya. Hal itu terjadi setiap tahun, tahun demi tahun, mereka menanti, dan selalu saya kecewakan.
KEMBALI KE KELUARGA
Gelagat ini tercium oleh pasangan selingkuhannya. Ia tak rela Robby kembali ke keluarga. Maka, ia pun berusaha meneror Robby. “Saya mendengar ancaman, dia akan membuat saya cacat supaya tidak dapat kembali ke dunia film. Kalau sampai saya tinggalin dia maka saya akan diadukan ke polisi, dsb. Namun, semua itu sebenarnya malah meringankan langkah saya untuk segera meninggalkan dia,” kisah Robby pada Bahana di suatu pagi di Yogyakarta. Kerinduan Robby sudah tak tertahankan. Tahun ke-14, Januari 1998, ia menelpon Etha, berjanji akan kembali ke keluarga. Pada hari yang dijanjikan, ketujuh anaknya berkumpul di ruang tamu. Sambil menunggu Robby, mereka terus melantunkan pujian dan penyembahan pada Tuhan. Tepat jam 2 pagi, terdengar ketukan di pintu. Robby akhirnya pulang.
“Peristiwa yang dinanti-nantikan mereka pun terjadi, saya dipulangkan oleh wanita itu, bahkan diantar sampai ke depan rumah saya pada tengah malam. Saya tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Peristiwa pemulangan saya itu menunjukkan bukan kuat gagah saya melepaskan diri dari jerat itu, tapi itu semata-mata karya Tuhan yang ajaib. Bukan saya yang berusaha dan pulang sendiri meninggalkan semua kenikmatan duniawi itu, melainkan mukjizat Tuhan yang memulangkan saya.”
Peristiwa itu disambut sukacita luar biasa oleh anak-anak saya, penuh haru dan kerinduan. Walaupun istri saya tidak merespons kepulangan saya, saya memakluminya. Selama 14 tahun kami terpisah, dan setelah semua kejahatan yang saya lakukan padanya, ia butuh waktu untuk menerima saya lagi. Saya tahu bahwa Tuhanlah yang menguasai hati keluarga saya, untuk mau menerima orang yang telah sekian lama menyakiti hati mereka, tidaklah mungkin jikalau bukan karena campur tangan Tuhan. Mereka diberikan-Nya kebesaran hati dan kasih untuk dapat menerima saya lagi. Kalau bukan karena campur tangan Tuhan, itu tidak mungkin.
Sama seperti saat meninggalkan keluarganya, Robby pun kembali ke keluarga dalam kondisi nol. Hanya ada uang Rp 60 ribu di dompetnya, dua celana jeans dan beberapa t-shirt. Semua kemewahan yang direguknya ditinggalkan begitu saja. Robby Sugara, ‘si Big Five itu’ jadi pengangguran.
KELUARGA DIPULIHKAN
Untuk bertahan hidup, Robby sempat menjadi supir dan membantu Roy Marten mengurus cafe. Pada April 1998, Tuhan memberinya kesempatan untuk kembali ke sinetron
“Setelah kembalinya saya ke rumah, semuanya tidak selesai begitu saja. Saya menghadapi sebuah pergumulan baru. Saya harus mengambil lagi beban yang saya tinggalkan, yaitu menghidupi keluarga saya. Saya tidak punya apa-apa sama sekali saat pulang pada mereka. Hanya membawa satu kantong plastik kecil berisi baju kotor. Saya memutar otak, bagaimana mendapatkan penghasilan. Kemudian saya mulai menghubungi teman-teman lama saya dalam dunia film, berharap nama besar Robby Sugara pada masa lalu masih bisa dijual saat ini. Saya menanti-nanti, tidak juga ada jawaban. Sampai akhirnya Tuhan tegur saya, agar saya tidak mengandalkan kekuatan saya, melainkan mengikuti jejak anak-anak saya yang hanya mengharapkan Tuhan untuk memulangkan saya. Saya menyadarinya, dan meminta ampun kalau saya masih mengandalkan nama besar. Dan menyerahkan sepenuhnya, segala sesuatunya ke dalam tangan Tuhan.”
“Tidak lama kemudian, jawaban Tuhan datang, saya mendapat peran dalam sebuah sinetron yang masih terkenal sampai saat ini, yaitu "Tersanjung". Setelah sinetron itu berkat Tuhan mengalir, hingga saya boleh diizinkan menyelesaikan puluhan judul sinetron. Saya sungguh rindu untuk melayani Tuhan, namun pelayanan saya sering kali terhambat dengan jadwal syuting yang sering berubah-ubah. Bila saya sudah dijadwalkan untuk bersaksi pada sebuah tempat, mendadak jadwal syuting juga berubah dan bentrok dengan jadwal melayani. Dengan sangat terpaksa saya harus mengikuti syuting karena sudah terikat kontrak. Hal ini membuat saya takut untuk menerima pelayanan kesaksian, takut saya mengecewakan jemaat yang mengundang, karena saya tidak bisa datang, bentrok dengan jadwal syuting yang berubah.”
“Saya berdoa pada Tuhan akan kerinduan besar saya untuk melayani Dia, dan keadaan pekerjaan saya saat itu. Pada sebuah sinetron yang saya perankan berjudul "Cintailah Aku", saya melihat judul dari sinetron itu memakai huruf besar untuk tulisan AKU. Saya percaya, ini adalah sebuah tanda dari Tuhan, agar saya melayani Dia sepenuhnya. Agar saya betul-betul mencintai hanya Dia seorang, meninggalkan segala sesuatunya, dan menyerahkan seluruh pemeliharaan hidup saya dalam tangan-Nya. Maka saya memutuskan untuk meninggalkan dunia keartisan, dan terjun sepenuhnya kepelayanan. Sungguh sebuah sukacita dapat melayani Tuhan Yesus yang telah memulihkan hidup dan keluarga saya. Orang bertanya, lalu dari mana saya memenuhi kebutuhan materi keluarga. Saya hanya tersenyum, Tuhan Yesus pasti mencukupi segala sesuatunya. Saya sudah melihat dan merasakan kebaikan-Nya, Ia selalu mencukupkan apa yang saya butuhkan, terpujilah nama-Nya.”
Sumber :
[1] http://kesaksian-kriste.blogspot.com/2008/11/kesaksian-robby-sugara.html
[2] source : http://www.bahana-magazine.com
[3] http://gbisokid.wordpress.com/2009/11/12/ibadah-raya-minggu-pagi-0800-wib-bersama-bp-robby-sugara/
[4] http://danielroom.blogspot.com/2007/06/kesaksian-robby-sugara.html
[5] http://ajaran-kristen.blogspot.com/2013/01/kesaksian-robby-sugara-dipulihkan-untuk.html
Di dalam keterbatasan itulah, justru keluarga Robby dipulihkan. Cinta kasih antara Robby dan Etha yang terkubur selama 14 tahun, Tuhan pulihkan. Kini, mereka bahkan seperti pengantin baru lagi. Belajar dari ketaatan anak-anaknya, Robby kini menjadi pelayan Tuhan. Tahun 2005, ia tinggalkan dunia sinetron dan melayani Tuhan sepenuh waktu. Robby-Etha, pelayanan keliling Indonesia, bahkan luar negeri untuk menyaksikan kasih Tuhan dalam kehidupan mereka. Itulah kedahsyatan kasih Tuhan. Ia bisa mengubah sebuah kehancuran menjadi kemuliaan.
Mari kita nikmati pelayanan Firman dan kesaksian Robby Sugara mengenai betapa hebat dan dahsyatnya ALLAH kita, yang mampu merubah seseorang Robby Sugara “pria yang tidak setia dan meninggalkan istri serta tujuh anaknya selama 14 tahun”, dan berubah menjadi anak Nya yang saat ini dipakai untuk menyaksikan kemuliaanNya.
---- Demikian Tuhan berkuasa untuk mengubah kehidupan Robby ...s
Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. (Yakobus 5:16).Link berbagi : http://jurnalakhirzaman.blogspot.co.id/2016/05/robby-sugara-papi-pulang-dipulihkan.html
Seorang suami harus mengasihi istrinya, demikian juga seorang istri diharapkan menghormati kepada suami. Tetap saling mengasihi sesama manusia. Tetap semangat dan Tuhan Yesus pasti memberkati. Ya dan Amen.
Post A Comment:
0 comments: